“Kamu siapa ?”, tanya pak Edi, ketika kami
menanyakan tentang dewasa itu apa. Dibawah Pohon Rindang yang kami sebut DPR
-salah satu pohon yang tepat berada di tengah meja bundar-, kami yang waktu itu
berusia sekitar 12-13 tahun berbincang-bincang. Kadang kami hanya bercerita
tentang teman sekelas, laki-laki terkece, tapi tidak jarang beberapa guru
mendekati kami ikut nimbrung dalam obrolan ABG itu. Tidak sedikit pula
guru-guru yang mau menjawab pertanyaan-pertanyaan konyol kami, pertanyaan-pertanyaan
keingintahuan dari anak yang hampir beranjak dewasa, salah satunya Pak Edi yang
ditanya oleh seorang anak apa itu dewasa.
“Dewasa itu ketika kamu tau siapa jati diri
kamu”, jelas Pak Edi.
Kami hanya melongo, saling menatap.
Aku bertanya, “Maksudnya gimana pak?”
Yang ditanya menjawab, “Saya Tyas, pak”.
“Terus apa lagi?”, tanya Pak Edi kembali.
Kami hanya terdiam.
Tuh kan baru tau nama, berarti kamu belum tau
siapa jati diri kamu”. Jelasnya lagi.
“Pelajar SMP”
“Terus apa lagi?”, tanya Pak Edi lagi.
Kami terdiam kembali.
Tuh kan baru tau segitu, itu mah belum jati
diri”. Tegasnya.
Aku kesal, dan bergumam, “Pak, jangankan siapa
saya, saya tau arti jati diri aja engga, pak. Jati diri itu apa pak?”
Beliau terdiam tidak menjawab.
Bertahun-tahun
setelah pertanyaan itu terlontarkan. Bertahun-tahun pertanyaan itu masih
terngiang. Aku tersenyum menatap langit “kau benar jati diri bukan hanya
sekedar nama”.
“Kamu
siapa?”, pertanyaan itu masih terngiang, dan aku bukan sekedar tau jawabannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar