Yakinkan kuberdiri. Dihampa tanpa tepi. Bolehkah aku. Mendengarmu
"Suka kangen ga sih ?", tanya suami yang sedari tadi menyetir sambil mendengarkan ceritaku tentang kenangan dengan lagu tadi.
Terkubur dalam emosi. Tak bisa kusembunyi. Aku dan nafasku. Merindukanmu.
"Suka, kadang-kadang tapi kan udah lama banget. Jadi kenangan aja", jawabku riang sambil bernyanyi.
Terpurukku di sini. Teraniaya sepi. Dan ku tahu pasti. Kau menemani.
Lalu lalang kendaraan bermotor di luar dan lagu Letto yang terputar di dalam mobil, mengingatkan aku pada kenangan 18 tahun lalu, ketika aku masih seusia remaja tanggung.
Dalam hidupku. Kesendirianku.
-----------------------‐--------‐---------------------------------
"Sepi banget sih yak, nyanyi dong", ucap seseorang di depanku meminta setengah berteriak. Maklum, kala itu meski jalanan masih tidak terlalu ramai karena masih pukul setengah 6 pagi, tapi angin dari lajunya motor sering menyembunyikan suara pengemudi pada penumpangnya.
"Request dong, lagunya letto yang sandaran hati", ucapnya lagi.
"Udah kaya dvd aja aku." kata aku, belum mau nyanyi.
"Iya udah biar ga ngantuk, duet deh, duet", dia mulai bernyanyi agar aku segera mengikuti dan memecah hening.
"Inikah yang kau mau. Benarkah ini jalanmu. Hanyalah engkau yang kutuju. Pegang erat tanganku. Bimbing langkah kakiku. Aku hilang arah. Tanpa hadirmu."
"Gelap malamnya, kesendiriankuuu".
"Stop stop, salah, harusnya, dalam gelapnya, malam hariku", kataku mengoreksi.
"Oooh, iya, lanjut ke reff. Teringat ku teringat. Pada dirimu ku terikat."
"Bukan dirimu. Tapi janjimu. Ih, aku aja deh yang nyanyi." kataku mengoreksi lagi.
"Teringat ku teringat. Pada janjimu ku terikat. Hanya sekejap kuberdiri. Kulakukan sepenuh hati."
Peduli kupeduli. Siang dan malam yang berganti. Sedihku ini tak ada arti. Jika kaulah sandaran hati. Kaulah sandaran hati."
"Gituuuuuu.. papah nih salah teruuuus", ucapku, mengakhiri lagu bersamaan dengan berakhir juga perjalanan kami ke sekolah.
Papah hanya tertawa lalu segera pergi mengendarai motornya menuju stasiun setelah aku mencium tangannya, meninggalkan aku di sekolahan yang masih sepi.
----‐-------------------------------------------------------------
"Khususon ila ruhi bapak Indra Nuryanto bin Sriyitno, al fatihah", bisikku pelan setelah mengenang cerita itu. Tak sadar, sedari tadi suami sedang memperhatikan aku yang hanya menatap keluar jendela.
"Bunda nangis yah ?" Tanya suami, yang hanya aku jawab dengan sunggingan senyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar