Suatu hari di masa ku kelas tiga atau empat SD, sepulang sekolah seseorang menitipkan sekantung beras padaku untuk disimpan di rumah. Kemudian aku jalan pulang menggunakan angkutan umum. Setelah turun dari angkutan umum aku masih harus naik ojek untuk sampai ke rumah, maka sekantung beras tadi ku minta gantung kan pada gantungan motor tukang ojek. Di jalan menuju rumah ternyata kantungnya robek, karna tidak kuat menahan beratnya beras. Akhirnya kupunguti beras sebisanya. Sesampainya di rumah kutaruh begitu saja beras itu di atas meja.
Siang tiba, seseorang yang menitipkan berasnya padaku pulang, dia marah setelah melihat beras yang hanya tinggal sedikit. Dia bilang “Bloon ih kamu mah, mani ga bisa dikasih kepercayaan, beras tuh harganya mahal tau. Dari segitu banyaknya tinggal sedikit. Digantungin sih yah pas naek ojek, kenapa sih ga dipegang aja”, aku merasa begitu sedih mendengarnya.
Pernah suatu kali aku pulang dari pasar bersama nenek dan seseorang. Banyak sekali barang yang kami beli, salah satunya adalah baso mentah. Orang itu bilang nanti sesampainya di rumah kita bikin mie pake baso yah. Aku sangat girang, diusia ku yang baru menginjak SD mie pake baso adalah makanan yang enak. Sesampainya di rumah ketika dia masak mie dan basonya, aku selalu kegirangan dan mengatakan “baso ku paling banyak yah, asik, asik, makan mie pake baso”, kalimat itu terus ku ucapkan. Setelah akhirnya matang, kami bertigapun makan, ku makan bakso ku lebih dulu. Tapi rasanya tidak seenak yang biasanya aku makan. Aku bertanya, “Ko, basonya ga enak kaya biasanya sih?”, ku ucapkan terus setiap makan basonya. Hingga akhirnya nenek mencoba baso di mangkok ku. Kemudian nenek bertanya pada orang itu, “Teu asak lain ?”, yang ditanya hanya diam.
Nenek bertanya kembali, “Kunaon teu asak ? Karunya atuh..”.
Yang ditanya menjawab, “atuda ngomong wae”.
“Karunya atuh” kata nenek lagi kemudian memasukan beberapa basonya ke mangkok ku sambil berkata, “makan yang ini aja sayang yah”.
Ada sesak di dada rasanya. Ada air yang kutahan di mata. Tapi entah kenapa di usiaku yang begitu muda ada perasaan aku tidak boleh merepotkan, aku harus tetap ceria, aku tidak boleh jadi beban. Orang itu tidak boleh melihat aku menangis.
Aku menginjak kelas lima SD, ada yang aneh dengan kaki ku. Aku merasa sulit sekali di angkat dan warna kulitnya menjadi belang. Seseorang membawaku ke rumah sakit terdekat. Karna ingin hemat, dia mengajaku berjalan melewati lapangan. Padahal aku sulit sekali mengangkat kaki. Dia menarik tanganku untuk berjalan terus.
Hingga akhirnya sampai juga di RS. Sepulang dr RS kaki ku makin sulit diangkat. Turun dari angkotpun sulit, hingga ketika menyebrang jalan aku harus dibopong oleh tukang ojek pangkalan. Tapi dia bisa-bisanya meninggalkanku disebrang jalan.
Di tahun lain ketika aku masih SD, setiap bulannya kami pergi ke kolam renang untuk nilai olahraga bersama guru-guru yang lain termasuk orang itu. Setelah pengambilan nilai, aku duduk-duduk di kolam yang agak dalam, bersiap turun dan bergabung untuk bermain bersama teman lainnya. Tapi orang itu memperingatkan untuk tidak turun karna kedalaman kolam dan dia takut aku tenggelam, aku yakinkan aku bisa berenang tapi dia tidak juga percaya, akhirnya aku hanya duduk-duduk di pinggir kolam dan melihat teman-temanku yang lain bermain. Orang tua murid bertanya pada orang itu kenapa aku tidak ikut turun. Dia jawab, “Dia mah memang penakut, takut tenggelam katanya, bisanya paling nangiiiis aja”, sambil tertawa. Aku tak habis pikir isi kepala orang ini kenapa begitu berbeda.
Dia selalu bilang, perempuan itu harus bekerja meskipun telah menikah supaya anak-anaknya kelak tidak hidup susah. Awalnya aku percaya, sampai suatu hari aku tidak makan karna tidak ada apa-apa di rumah, bahkan telur ataupun indomie tidak ada. Kala itu aku masih SMA. Aku dengar dia sedang mengejar kenaikan golongan dan aku tau ada uang yang harus dikeluarkan untuk tanda terimakasih. Maka aku berasumsi kalo uangnya habis digunakan untuk kenaikan golongan. Memang kenyataannya setelah papa meninggal keluarga kami jd lebih susah, bukan hanya karna berkurangnya tulang punggung di keluarga kami, tapi juga karna hutang-hutang yang papa tinggalkan pada keluarga kami. Dari situ aku belajar, hidup susah atau tidak bukan karna perempuan itu bekerja atau tidak. Tapi alasannya adalah lebih ke dalam diri kita. Keberkahan rezeki. Merasa cukup atau tidak. Selalu merasa bersyukur atau tidak. Ketika tidak berkah maka sebanyak apapun materi yang dimiliki hanya akan jadi boomerang masalah nantinya.
Dia bilang, dia bekerja untuk kami, agar kami tidak hidup susah. Tapi aku harus masuk SMA dekat rumah, dengan alasan supaya hemat ongkos. Padahal aku bisa masuk SMA yang lebih baik. Aku juga harus berjualan, membawa dagangan tiap hari ke sekolah.
Aku harus kuliah di swasta murah, padahal aku sudah diterima di kampus negeri, dengan alasan yang masih sama, duit lagi.
Meskipun pada akhirnya sekarang aku sudah tidak menyesali dengan semua yang pernah terjadi. Karna tanpa aku lalui semua jalan itu. Aku blm tentu sampai ke jalan cahaya ini.
Orang itu, dia adalah mama. Yang begitu baik rela mati untuk aku, merawatku, menemani ketika sakit, sampai sekarang. Tapi aku hanya bisa memikirkan keburukan-keburukan masa kecil yang dilakukannya padaku.
Dia adalah mama yang sering menjadikan kami kambing hitamnya. Yang bekerja pagi, siang, sore hanya untuk makan. Yang mampu menyekolakan anaknya dengan baik tapi tak dilakukan.
Seandainya harus memilih, menggadaikan sertifikat PNS untuk pendidikan terbaik bagi anak atau membeli mobil maka dia akan memilih yang kedua.
Aku harap, aku bisa mendidik anak-anak ku lebih baik, memberikan yang terbaik untuk kebaikan Din nya kelak.